Acara inklusi sdn benowo III
Acara ini diselengarakan oleh Pemerintah Kota Surabaya memberikan apresiasi kepada anak-anak berpendidikan khusus atau inklusi yang ada di Kota Pahlawan.
Pendidikan inklusi adalah termasuk hal yang baru
di Indonesia umumnya. Ada beberapa pengertian mengenai pendidikan
inklusi, diantaranya adalah pendidikan inklusi merupakan sebuah
pendekatan yang berusaha mentransformasi sistem pendidikan dengan
meniadakan hambatan-hambatan yang dapat menghalangi setiap siswa untuk
berpartisipasi penuh dalam pendidikan. Hambatan yang ada bisa terkait
dengan masalah etnik, gender, status sosial, kemiskinan dan lain-lain.
Dengan kata lain pendidikan inklusi adalah pelayanan pendidikan anak
berkebutuhan khusus yang dididik bersama-sama anak lainnya (normal)
untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya.
Salah satu kelompok yang paling tereksklusi dalam memperoleh pendidikan
adalah siswa penyandang cacat. Tapi ini bukanlah kelompok yang homogen.
Sekolah dan layanan pendidikan lainnya harus fleksibel dan akomodatif
untuk memenuhi keberagaman kebutuhan siswa. Mereka juga diharapkan dapat
mencari anak-anak yang belum mendapatkan pendidikan.
A. Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus
Pengelompokan anak berkebutuhan khusus dan jenis pelayanannya, sesuai
dengan Program Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa Tahun 2006 dan
Pembinaan Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar Dan Menengah
Departemen Pendidikan Nasional Pendidikan adalah sebagai berikut :
1. Tuna Netra
2. Tuna Rungu
3. Tuna Grahita: (a.l. Down Syndrome)
4. Tuna Grahita Ringan (IQ = 50-70)
5. Tuna Grahita Sedang (IQ = 25-50)
6. Tuna Grahita Berat (IQ 125 ) J. Talented : Potensi bakat istimewa
(Multiple Intelligences : Language, Logico mathematic, Visuo-spatial,
Bodily-kinesthetic, Musical, Interpersonal, Intrapersonal, Natural,
Spiritual).
13. Kesulitan Belajar (a.l. Hyperaktif, ADD/ADHD, Dyslexia/Baca,
Dysgraphia/Tulis, Dyscalculia/Hitung, Dysphasia/Bicara, Dyspraxia/
Motorik)
14. Lambat Belajar ( IQ = 70 –90 )
15. Autis
16. Korban Penyalahgunaan Narkoba
17. Indigo
Pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap
manusia untuk menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat.
Karena itu negara memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan
pendidikan yang bermutu kepada setiap warganya tanpa terkecuali termasuk
mereka yang memiliki perbedaan dalam kemampuan (difabel) seperti yang
tertuang pada UUD 1945 pasal 31 (1). Namun sayangnya sistem pendidikan
di Indonesia belum mengakomodasi keberagaman, sehingga menyebabkan
munculnya segmentasi lembaga pendidikan yang berdasar pada perbedaan
agama, etnis, dan bahkan perbedaan kemampuan baik fisik maupun mental
yang dimiliki oleh siswa. Jelas segmentasi lembaga pendidikan ini telah
menghambat para siswa untuk dapat belajar menghormati realitas
keberagaman dalam masyarakat.
Selama ini anak – anak yang memiliki perbedaan kemampuan (difabel)
disediakan fasilitas pendidikan khusus disesuaikan dengan derajat dan
jenis difabelnya yang disebut dengan Sekolah Luar Biasa (SLB). Secara
tidak disadari sistem pendidikan SLB telah membangun tembok
eksklusifisme bagi anak – anak yang berkebutuhan khusus. Tembok
eksklusifisme tersebut selama ini tidak disadari telah menghambat proses
saling mengenal antara anak – anak difabel dengan anak – anak
non-difabel. Akibatnya dalam interaksi sosial di masyarakat kelompok
difabel menjadi komunitas yang teralienasi dari dinamika sosial di
masyarakat. Masyarakat menjadi tidak akrab dengan kehidupan kelompok
difabel. Sementara kelompok difabel sendiri merasa keberadaannya bukan
menjadi bagian yang integral dari kehidupan masyarakat di sekitarnya.
Seiring dengan berkembangnya tuntutan kelompok difabel dalam
menyuarakan hak – haknya, maka kemudian muncul konsep pendidikan
inklusi. Salah satu kesepakatan Internasional yang mendorong terwujudnya
sistem pendidikan inklusi adalah Convention on the Rights of Person
with Disabilities and Optional Protocol yang disahkan pada Maret 2007.
Pada pasal 24 dalam Konvensi ini disebutkan bahwa setiap negara
berkewajiban untuk menyelenggarakan sistem pendidikan inklusi di setiap
tingkatan pendidikan. Adapun salah satu tujuannya adalah untuk mendorong
terwujudnya partisipasi penuh difabel dalam kehidupan masyarakat. Namun
dalam prakteknya sistem pendidikan inklusi di Indonesia masih
menyisakan persoalan tarik ulur antara pihak pemerintah dan praktisi
pendidikan, dalam hal ini para guru.
Meski sampai saat ini sekolah inklusi masih terus melakukan perbaikan
dalam berbagai aspek, namun dilihat dari sisi idealnya sekolah inklusi
merupakan sekolah yang ideal baik bagi anak dengan dan tanpa
berkebutuhan khusus. Lingkungan yang tercipta sangat mendukung terhadap
anak dengan berkebutuhan khusus, mereka dapat belajar dari interaksi
spontan teman-teman sebayanya terutama dari aspek social dan emosional.
Sedangkan bagi anak yang tidak berkebutuhan khusus memberi peluang
kepada mereka untuk belajar berempati, bersikap membantu dan memiliki
kepedulian. Disamping itu bukti lain yang ada mereka yang tanpa
berkebutuhan khusus memiliki prestasi yag baik tanpa merasa terganggu
sedikitpun
Penyelengaraan sistem pendidikan inklusi merupakan
salah satu syarat yang harus terpenuhi untuk membangun tatanan
masyarakat inklusi (inclusive society). Sebuah tatanan masyarakat yang
saling menghormati dan menjunjung tinggi nilai – nilai keberagaman
sebagai bagian dari realitas kehidupan. Pemerintah melalui PP.No.19
tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, pasal 41(1) telah
mendorong terwujudnya sistem pendidikan inklusi dengan menyatakan bahwa
setiap satuan pendidikan yang melaksanakan pendidikan inklusi harus
memiliki tenaga kependidikan yang mempunyai kompetensi menyelenggarakan
pembelajaran bagi peserta didik dengan kebutuhan khusus. Undang – undang
tentang pendidikan inklusi dan bahkan uji coba pelaksanaan pendidikan
inklusinya pun konon telah dilakukan.
Namun yang menjadi pertanyaan sekarang adalah :
1. Sejauh mana keseriusan pemerintah untuk mendorong terlaksananya sistem pendidikan inklusi bagi kelompok difabel?
2. Bagaimanakah kurikulum yang dipakai dalam pendidikan inklusi?
Gagagasan pendidikan inklusi
Sekolah inklusi adalah sekolah reguler yang
mengkoordinasi dan mengintegrasikan siswa reguler dan siswa penyandang
cacat dalam program yang sama, dari satu jalan untuk menyiapkan
pendidikan bagi anak penyandang cacat adalah pentingnya pendidikan
inklusi, tidak hanya memenuhi target pendidikan untuk semua dan
pendidikan dasar 9 tahun, akan tetapi lebih banyak keuntungannya tidak
hanya memenuhi hak-hak asasi manusia dan hak-hak anak tetapi lebih
penting lagi bagi kesejahteraan anak, karena pendidikan inklusi mulai
dengan merealisasikan perubahan keyakinan masyarakat yang terkandung di
mana akan menjadi bagian dari keseluruhan, dengan demikian penyandang
cacat anak akan merasa tenang, percaya diri, merasa dihargai,
dilindungi, disayangi, bahagia dan bertanggung jawab.
inklusi terjadi pada semua lingkungan sosial anak, Pada keluarga, pada
kelompok teman sebaya, pada sekolah, pada institusi-institusi
kemasyarakatan lainnya. Sebuah masyarakat yang melaksanakan pendidikan
inklusi berkeyakinan bahwa hidup dan belajar bersama adalah cara hidup
(way of life) yang terbaik, yang menguntungkan semua orang, karena tipe
pendidikan ini dapat menerima dan merespon setiap kebutuhan individual
anak. Dengan demikian sekolah atau pendidikan menjadi suatu lingkungan
belajar yang ramah anak-anak. Pendidikan inklusi adalah sebuah sistem
pendidikan yang memungkinkan setiap anak penuh berpartisipasi dalam
kegiatan kelas reguler tanpa mempertimbangkan kecacatan atau
karakteristik lainnya. Disamping itu pendidikan inklusi juga melibatkan
orang tua dalam cara yang berarti dalam berbagi kegiatan pendidikan,
terutama dalam proses perencanaaan, sedang dalam belajar mengajar,
pendekatan guru berpusat pada anak.
Landasan Hukum
Landasan Spiritual
a. Surat An Nisa ayat 9
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya
meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah yang mereka
khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Maka hendaklah mereka bertaqwa
kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”.
b. Surat Az Zuhruf ayat 32
“Allah telah menentukan diantara manusia penghidupan mereka dalam
kehidupan dunia, dan Allah telah meninggikan sebagian dari mereka atas
sebagian yang lain beberapa derajat agar sebagian mereka dapat saling
mengambil manfaat(membutuhkan)”.
Landasan Yuridis
a. Konvensi PBB tentang Hak anak tahun 1989.
b. Deklarasi Pendidikan untuk Semua di Thailand tahun 1990.
c. Kesepakatan Salamanka tentang Pendidikan inklusi tahun 1994.
d. UU No. 4 tentang Penyandang Cacat tahun 1997.
e. UU No. 23 tentang Perlindungan Hak Anak tahun 2003.
f. PP No. 19 tentang Standar Pendidikan Nasional tahun 2004.
g. Deklarasi Bandung tentang Menuju Pendidikan Inklusi tahun 2004.
Kalau kita cermati lebih teliti, landasa spiritual maupun landasan
yuridis tersebut telah memberikan dasar hukum yang jelas tentang
bagaiman penyelenggaraan pendidikan inklusi yang memang merupakan sebuah
kebutuhan yang tidak dapat ditunda-tunda lagi.
Implementasi Di Lapangan
Indonesia Menuju Pendidikan inklusi Secara formal
dideklarasikan pada tanggal 11 agustus 2004 di Bandung, dengan harapan
dapat menggalang sekolah reguler untuk mempersiapkan pendidikan bagi
semua anak termasuk penyandang cacat anak. Setiap penyandang cacat
berhak memperolah pendidikan pada semua sektor, jalur, jenis dan jenjang
pendidikan (Pasal 6 ayat 1). Setiap penyandang cacat memiliki hak yang
sama untuk menumbuh kembangkan bakat, kemampuan dan kehidupan sosialnya,
terutama bagi penyandang cacat anak dalam lingkungan keluarga dan
masyarakat (Pasal 6 ayat 6 UU RI No. 4 tahun 1997 tentang penyandang
cacat).
Disamping pendidikan atau sekolah reguler, pemerintah dan badan-badan
swasta menyelenggarakan pendidikan atau sekolah khusus yang biasa
disebut Sekolah Luar Biasa (SLB) untuk melayani beberapa jenis
kecacatan. Tidak seperti sekolah reguler yang tersebar luas baik di
daerah perkotaan maupun daerah pedesaan. SLB dan SDLB sebagian besar
berlokasi di perkotaan dan sebagian kecil sekali yang berlokasi di
pedesaan. Penyandang cacat anak untuk menjangkau SLB atau SDLB relatif
sangat jauh hingga memakan biaya cukup tinggi yang tidak terjangkau
penyandang cacat anak dari pedesaan. Ini pula masalah yang dapat
diselesaikan oleh pendidikan atau sekolah inklusi, di samping memecahkan
masalah golongan penyandang cacat yang merata karena diskriminasi
sosial, karena dari sejak dini tidak bersama, berorientasi dengan yang
lain.
Sejak tahun 2001, pemerintah mulai uji coba perintisan sekolah inklusi
seperti di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan 12 sekolah
didaerah Gunung Kidul dan di Provinsi daerah Khusus Ibukota Jogyakarta
dengan 35 sekolah. Pada sekolah sekolah reguler yang dijadikan perintis
itu memang diuntukkan anak-anak lambat belajar dan anak-anak sulit
belajar sehingga perlu mendapat pelayanan khusus. Karena masih dalam
tahap rintisan sampai sekarang belum ada informasi yang berarti dari
sekolah-sekolah tersebut.
Menurut Prof. Dr. Fawzie Aswin Hadi (Universitas Negeri Jakarta)
mengisahkan sekolah Inklusi (SD. Muhamadiyah di Gunung Kidul) sekolah
ini punya murid 120 anak, 2 anak laki-laki diantaranya adalah Tuna
Grahita, dua anak ini dimasukan oleh kedua ibunya ke kelas I karena mau
masuk SLBC lokasinya jauh dari tempat tinggalnya yang di pegunungan.
Keluarga ini tergolong keluarga miskin oleh sebab itu mereka memasukkan
anak-anaknya ke SD. Muhamadiyah. Perasaan mereka sangat bahagia dan
bangga bahwa kenyataannya anak mereka diterima sekolah. Satu anak tampak
berdiam diri dan cuek, sedang satu lagi tampak ceria dan gembira,
bahkan ia menyukai tari dan suka musik, juga ia ramah dan bermain dengan
teman sekolahnya yang tidak cacat. Gurunya menyukai mereka, mengajar
dan mendidik mereka dengan mengunakan modifikasi kurikulum untuk
matematika dan mata pelajaran lainnya, evaluasi disesuaikan dengan
kemampuan mereka. Hal yang sangat penting disini yang berkaitan dengan
guru adalah anak Tuna Grahita dapat menyesuaikan diri dengan baik,
bahagia dan senang di sekolah. Ini merupakan potret anak Tuna Grahita di
tengah-tengah teman sekelas yang sedang belajar.
Di Indonesia telah dilakukan Uji coba dibeberapa daerah sejak tahun
2001, secara formal pendidikan inklusi dideklarasikan di Bandung tahun
2004 dengan beberapa sekolah reguler yang mempersiapkan diri untuk
implementasi pendidikan inklusi. Awal tahun 2006 ini tidak ada
tanda-tanda untuk itu, informasi tentang pendidikan inklusi tidak muncul
kepada publik, isu ini tenggelam ketika isu menarik lainnya seperti
biaya operasional sekolah, sistem SKS SMA dan lain-lain.
PENGEMBANGAN KURIKULUM
Lingkup Pengembangan Kurikulum
Kurikulum pendidikan inklusi menggunakan kurikulum
sekolah reguler (kurikulum nasional) yang dimodofikasi (diimprovisasi)
sesuai dengan tahap perkembangan anak berkebutuhan khusus, dengan
mempertimbangkan karakteristik (ciri-ciri) dan tingkat kecerdasannya.
Modifikasi kurikulum dilakukan terhadap:
1. alokasi waktu,
2. isi/materi kurikulum,
3. proses belajar-mengajar,
4. sarana prasarana,
5. lingkungan belajar, dan
6. pengelolaan kelas.
Pengembang Kurikulum
Modifikasi/pengembangan kurikulum pendidikan
inklusi dapat dilakukan oleh Tim Pengembang Kurikulum yang terdiri atas
guru-guru yang mengajar di kelas inklusi bekerja sama dengan berbagai
pihak yang terkait, terutama guru pembimbing khusus (guru Pendidikan
Luar Biasa) yang sudah berpengalaman mengajar di Sekolah Luar Biasa, dan
ahli Pendidikan Luar Biasa (Orthopaedagog), yang dipimpin oleh Kepala
Sekolah Dasar Inklusi (Kepala SD Inklusi) dan sudah dikoordinir oleh
Dinas Pendidikan.
Pelaksanaan Pengembangan Kurikulum
Pengembangan kurikulum dilaksanakan dengan:
1. Modifikasi alokasi waktu
Modifikasi alokasi waktu disesuaikan dengan mengacu pada kecepatan belajar siswa.
Misalnya materi pelajaran (pokok bahasan) tertentu dalam kurikulum
reguler (Kurikulum Sekolah Dasar) diperkirakan alokasi waktunya selama 6
jam.
* Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di atas normal (anak berbakat) dapat dimodifikasi menjadi 4 jam.
* Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi relatif normal dapat dimodifikasi menjadi sekitar 8 jam;
* Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di bawah
normal (anak lamban belajar) dapat dimodifikasi menjadi 10 jam, atau
lebih; dan untuk anak tunagrahita menjadi 18 jam, atau lebih; dan
seterusnya.
2. Modifikasi isi/materi
* Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki
inteligensi di atas normal, materi dalam kurikulum sekolah reguler dapat
digemukkan (diperluas dan diperdalam) dan/atau ditambah materi baru
yang tidak ada di dalam kurikulum sekolah reguler, tetapi materi
tersebut dianggap penting untuk anak berbakat.
* Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi relatif
normal materi dalam kurikulum sekolah reguler dapat tetap dipertahankan,
atau tingkat kesulitannya diturunkan sedikit.
* Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di bawah
normal (anak lamban belajar/tunagrahita) materi dalam kurikulum sekolah
reguler dapat dikurangi atau diturunkan tingkat kesulitannya seperlunya,
atau bahkan dihilangkan bagian tertentu.
3. Modifikasi proses belajar-mengajar
* Mengembangkan proses berfikir tingkat tinggi,
yang meliputi analisis, sintesis, evaluasi, dan problem solving, untuk
anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di atas normal;
* Menggunakan pendekatan student centerred, yang menenkankan perbedaan individual setiap anak;
* Lebih terbuka (divergent);
* Memberikan kesempatan mobilitas tinggi, karena kemampuan siswa di
dalam kelas heterogen, sehingga mungkin ada anak yang saling bergerak
kesana-kemari, dari satu kelompok ke kelompok lain.
* Menerapkan pendekatan pembelajaran kompetitif seimbang dengan
pendekatan pembelajaran kooperatif. Melalui pendekatan pembelajaran
kompetitif anak dirangsang untuk berprestasi setinggi mungkin dengan
cara berkompetisi secara fair. Melalui kompetisi, anak akan berusaha
seoptimal mungkin untuk berprestasi yang terbaik, “aku-lah sang juara”!
Namun, dengan pendekatan pembelajaran kompetitif ini, ada dampak
negatifnya, yakni mungkin “ego”-nya akan berkembang kurang baik. Anak
dapat menjadi egois.
Untuk menghindari hal ini, maka pendekatan pembelajaran kompetitif ini
perlu diimbangi dengan pendekatan pembelajaran kooperatif.
Melalui pendekatan pembelajaran kooperatif, setiap anak dikembangkan
jiwa kerjasama dan kebersamaannya. Mereka diberi tugas dalam kelompok,
secara bersama mengerjakan tugas dan mendiskusikannya. Penekanannya
adalah kerjasama dalam kelompok, dan kerjasama dalam kelompok ini yang
dinilai. Dengan cara ini sosialisasi anak dan jiwa kerjasama serta
saling tolong menolong akan berkembang dengan baik.
Dengan demikian, jiwa kompetisi dan jiwa kerjasama anak akan berkembang harmonis.
* Disesuaikan dengan berbagai tipe belajar siswa (ada yang bertipe
visual; ada yang bertipe auditoris; ada pula yang bertipe kinestetis).
Tipe visual, yaitu lebih mudah menyerap informasi melalui indera
penglihatan.Tipe auditoris, yaitu lebih mudah menyerap informasi melalui
indera pendengaran.Tipe kinestetis, yaitu lebih mudah menyerap
informasi melalui indera perabaan/gerakan.Guru hendaknya tidak monoton
dalam mengajar sehingga hanya akan menguntungkan anak yang memiliki tipe
belajar tertentu saja.
KESIMPULAN
Kendala / Kelemahan
Minimnya sarana penunjang sistem pendidikan inklusi, terbatasnya
pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki oleh para guru sekolah inklusi
menunjukkan betapa sistem pendidikan inklusi belum benar – benar
dipersiapkan dengan baik. Apalagi sistem kurikulum pendidikan umum yang
ada sekarang memang belum mengakomodasi keberadaan anak – anak yang
memiliki perbedaan kemampuan (difabel). Sehingga sepertinya program
pendidikan inklusi hanya terkesan program eksperimental.
Kondisi ini jelas menambah beban tugas yang harus diemban para guru
yang berhadapan langsung dengan persoalan teknis di lapangan. Di satu
sisi para guru harus berjuang keras memenuhi tuntutan hati nuraninya
untuk mencerdaskan seluruh siswanya, sementara di sisi lain para guru
tidak memiliki ketrampilan yang cukup untuk menyampaikan materi
pelajaran kepada siswa yang difabel. Alih – alih situasi kelas yang
seperti ini bukannya menciptakan sistem belajar yang inklusi, justeru
menciptakan kondisi eksklusifisme bagi siswa difabel dalam lingkungan
kelas reguler. Jelas ini menjadi dilema tersendiri bagi para guru yang
di dalam kelasnya ada siswa difabel.
Solusi
Jika pemerintah memang serius dalam melaksanakan program pendidikan
inklusi, maka yang harus dilakukan adalah dengan menjalankan tahapan –
tahapan pelaksanaan pendidikan inklusi secara konsisten mulai dari
sosialisasi hingga evaluasi pelaksanaannya. Namun yang lebih penting dan
secara langsung dapat dilakukan oleh para guru untuk mewujudkan
pendidikan inklusi adalah dengan menciptakan suasana belajar yang saling
mempertumbuhkan (cooperative learning). Cooperative Learning akan
mengajarkan para siswa untuk dapat saling memahami (mutual
understanding) kekurangan masing – masing temannya dan peduli (care)
terhadap kelemahan yang dimiliki teman sekelasnya. Dengan demikian maka
sistem belajar ini akan menggeser sistem belajar persaingan (competitive
learning) yang selama ini diterapkan di dunia pendidikan kita. Dalam
waktu yang bersamaan competitive learning dapat menjadi solusi efektif
bagi persoalan yang dihadapi oleh para guru dalam menjalankan pendidikan
inklusi. Pada akhirnya suasana belajar cooperative ini diharapkan bukan
hanya menciptakan kecerdasan otak secara individual, namun juga
mengasah kecerdasan dan kepekaan sosial para siswa.
Hasil Pendidikan Inklusi
Menurut Staub dan Peck (1994/1995) ada lima manfaat atau kelebihan program inklusi yaitu:
1. Berdasarkan hasil wawancara dengan anak non ABK di sekolah menengah,
hilangnya rasa takut pada anak berkebutuhan khusus akibat sering
berinteraksi dengan anak berkebutuhan khusus.
2. Anak non ABK menjadi semakin toleran pada orang lain setelah memahami kebutuhan individu teman ABK.
3. Banyak anak non ABK yang mengakui peningkatan selfesteem sebagai
akibat pergaulannya dengan ABK, yaitu dapat meningkatkan status mereka
di kelas dan di sekolah.
4. Anak non ABK mengalami perkembangan dan komitmen pada moral pribadi dan prinsip-prinsip etika.
5. Anak non ABK yang tidak menolak ABK mengatakan bahwa mereka merasa bahagia bersahabat dengan ABK
Dengan demikian orang tua murid tidak lagi khawatir bahwa pendidikan
inklusi dapat merugikan pendidikan anaknya justru malah akan
menguntungkan.